Powered By Blogger

Kamis, 07 Oktober 2010

AKU, HANYA AKU

"Ijinkan aku mencintaimu dari alam sana.
Mencintaimu tanpa menyentuhmu.
Memang kita telah berbeda.
Tuhan telah ambilku.
Namun tak serta cintaku untukmu."

Aku pura-pura sakit atau aku memang sakit? Huft.., kurebahkan tubuhku yang tidak lagi kuat melawan rasa sakit ini. Aku lelah dengan semua ini. Tiba-tiba nyeri dikepalaku datang, namun tiba-tiba hilang. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada otak kananku bagian belakang itu.
Setiap malam rasa ini datang dan bulir bening keluar dari mata redupku. Aku sering menangis mungkin karena rasa sakitku atau karena mereka disekitarku tak peduli denganku.
”Kenapa kau selalu sakit? Kau harus selalu sehat. Aku tak suka melihat kau hanya berbaring lemas di atas dipan.” kata wanita yang melahirkanku enambelas tahun lalu, dengan menunujukkan sedikit kekecewaannya.
****
Sepuluh tahun lalu, tepatnya aku berumur enam tahun. Aku gadis kecil yang sangat suka tantangan. Di sore yang naas itu, aku bersepeda dengan sepeda bekas kakakku. Aku memang tak pernah dibelikan suatu hal yang baru. Dengan riangnya aku bersepeda meski sepeda bekas yang kupakai. Berkeliling kota, sebelum berangkat memang aku tak berpamitan orang tuaku, karena berpamitan atau tidak itu sama saja bagi mereka.
Aku melihat sesuatu yang menarik diseberang sana, karena keingintahuanku aku mencoba menyeberangi jalan yag tak lengangang itu. Tanpa kusadari dari arah kananku sepeda motor seorang bapak-bapak tua yang dipacu dengan kekuatan tinggi menyambarku. Dan. Daar..!!!
Uwing...uwing..uwing...., suara serine yang kudengar, penglihatanku buram.
Hanya satu hari, aku dirawat di rumah sakit. Karena orang tuaku tak suka melihat anaknya sakit dan berbaring di dipan mungkin karena kelihatan seperti orang malas. Sempat terdengar percakapan orang tuaku dengan dokter bahwa seharusnya aku harus dirawat intensif selama empat atau lima hari lagi karena luka diotak kananku terlalu parah. Sebagai gadis kecil berumur enam tahun aku tak tahu apa-apa dan aku tak hiraukan percakapan mereka.
Akhirnya aku sampai di rumah dengan kepala bagian bawah sebelah kanan yang amat terangat sakit. Hanya menangis yang tak kuinginkan dan tak sadar aku lakukan. Menahan rasa sakit yang tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diriku.
****
Kini aku berumur enambelas tahun. Aku beranjak dewasa sebagai gadis remaja berparas lumayan, dengan penampilan tomboy dan periang. Ya, inilah aku selalu riang dalam keadaan sesulit apapun. Aku tak terlalu pandai, karena kejadian tabrakan sepuluh tahun lalu yang membuat otakku sedikit tergangganggu. Aku mengenyam pendidikan di sekolah tidak favorit di kotaku, namun aku senang dengan keadaanku yang seperti ini.
” Hai Kan?!” sapanya disuatu pagi.
”Hai kak., apa kabar?” sahutku dengan senyum kecil.
”Baik.” jawabnya singkat dan melontarkan senyumnya.
Lalu kami berjalan berdua dan berpisah karena kami berbeda kelas. Kalian pasti bingung mengapa orang itu memanggilku ”Kan”. Namanku Kania, dan orang itu adalah kakak kelasku namanya Dilla. Tak seperti kakak kelasku yang lain, kak Dilla adalah orang yang ramah jika kau telah mengenalnya, jika tidak kau pasti mengira dia orang jahat tak tahu diri. Mungkin karena penampilannya yang terlalu cool di depan orang. Kami akrab karena sering bertukar pikiran melalui dunia maya. Kami membicaran banyak hal terutama masalah pelajaran sekolah.
Kak Dilla seorang yang pandai dan ramah dengan catatan jika kau berbuat baik dan bersikap sopan dengannya. Aku senang berteman akrab dengannya. Banyak hal yang kudapat darinya. Salah satunya adalah hatinya. Sore itu, sepulang sekolah ia mengatakannya padaku. Aku menjawab dengan senyum yang menurutku senyuman paling manis untuk gadis tomboy. Takku sangka orang seperti itu menaruh hati kepadaku.
****
Malam datang, tiba-tiba kepalaku bagian kanan sangat nyeri, aku sangat kesakitan, tak seorang pun tahu jika kepalaku benar-benar sakit dan aku tahu ini bukan sakit kepala biasa. Semalaman aku menangis dengan merangkul boneka pemberian Kak Dilla dihari ulang tahunku ke enambelas. Karena itu dapat memberiku rasa nyaman dan sedikit tenang. Keesokan harinya aku bercerita kepada ibuku tentang semua yang kurasakan. Aku hanya dipijat terapi. Dan hasilnya terdapat luka dalam diotakku sebelah kanan. Aku tak tahu mengapa mereka tak membawaku ke dokter untuk melihat sejauhmana lukaku itu.
Setiap hari dan setiap malam aku merasa sakit teramat sangat. Lama kelamaan aku terbiasa dengan nyeri itu, dan menganggap nyeri dikepalaku adalah hal wajar yang harus kurasakan. Aku tak bercerita kepada kak Dilla apa yang kualami, semua tentang seberapa sering aku pusing dan mimisan tiba-tiba. Aku takut ia menjauh dariku karena hal ini.
Hari demi hari kulewati sendiri bersama penyakitku. Namun aku selalu riang di depan orang tuaku, teman-temanku bahkan Kak Dilla orang yang paling aku sayangi. Banyak kenangan indah kulalui dengan Kak Dilla.
Tak jarang setiap minggu aku dan ia pergi berjalan-jalan berdua menghabiskan waktu liburan layaknya sepasang kekasih. Kami juga sering belajar bersama, ia sering mengunjungiku ke rumah. Kami seperti saudara. Sering sekali kami kena marah orang tuaku karena kami pergi hingga larut sore. Tapi kami menikmatinya dan kami anggap itu pengalaman seru. Masih banyak lagi kenangan indah bersamanya.
****
Pagi itu tanggal delapan Nopember adalah hari ulang tahunku dan kebetulan hari itu, hari Minggu. Kak Dilla memberiku kejutan, ia mengajakku ke sebuah tempat.
”Bukalah matamu sekarang Kan.” katanya sambil membuka tali yang menutupi mataku.
”Baiklah...” jawabku antusias.
Kubuka mataku dan kulihat pantai berpasir putih, debur ombak bersahutan dengan kemilau emas cahaya matahari.
”Indahnya...” kataku terkagum-kagum.
Refleks, aku merangkul dan kucium kening Kak Dilla karena aku sangat senang.
”Kau senang dengan semua ini?” tanyanya.
”Iya Kak, aku suka dengan semua ini. Semua ini adalah hal yang paling aku suka.” jawabku dengan mata berbinar-binar.
Tak hanya itu, ia mengajakku masuk ke ruang gelap dangan lilin yang bertaburan, aku dikagetkan dengan roti tart menjulang tinggi. Ini tak pernah aku dapatkan sebelumnya. Bahkan dari orang tuaku, ucapan selamat ulang tahun tak pernah mereka ucapkan apalagi memberiku kejutan seperti ini.
Ditengah kegembiraanku, tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi. Dahsyat rasa ini. Gelap dan semakin gelap. Aku tak dapat melihat bahkan mendengar apapun.
****
”Maaf Ibu-Bapak, nyawa anak anda terancam. Namun kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan anak Ibu-Bapak.” kata dokter lemas.
Kak Dilla menangis diluar UGD. Ia tak punya harapan lagi. Tak lama kemudian aku tersadar namun tak sepenuhnya. Semalaman Kak Dilla tidur dengan menggenggam tanganku. Aku bangun dari tidurku dan melihatnya dalam-dalam tanpa kusadari air mataku menetes. Kak Dilla benar-benar menyayangiku, namun aku takut jika aku mengecewakannya karena penyakitku ini. Belum sempat ia melihat aku terbangun. Penglihatanku kembali gelap dan sangat gelap. Terimakasih Kak, kau telah memberiku kebahagiaan walau sebentar dalam hidupku.



Kamar Kecilku, 27 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar