Powered By Blogger

Kamis, 07 Oktober 2010

Kelam (Antologi JOGLO 9 "Jagat Terlantar")

Kelam cerpen Ashfiya Nur Atqiya (Antologi JOGLO 9 "Jagat Terlantar")

”Bagaimana mas, kapan kita nikah?” tanyaku mengurai kekhawatiran.

”Ngapain kamu tanya hal itu? Nikah itu buat orang tambah rekoso!” jawabnya dengan membentakku.

Tanpa berpamitan dengan Wisnu, aku meninggalkan rumah kost itu. Di perjalanan aku menangis, aku pulang naik bus umum menuju kostku. Di dalam bus aku bertemu dengan Fikri, teman kerjaku dan ia memilih duduk sebangku denganku. Melihat aku menangis, dia bertanya kepadaku, ”Kenapa kamu, Ra?”

Fikri adalah teman dekat antara aku dan Wisnu. Aku pun menceritakan semua apa yang telah terjadi

”Sudahlah Tera. Mungkin Wisnu sedang lelah memikirkan skripsinya atau mungkin dia akan memberimu kejutan, dengan melamarmu mingu-minggu ini mungkin”

Aku terdiam akan tetapi bukan mengiyakan ucapan Fikri.

***.

Beberapa tahun yang lalu aku berkenalan dengan seseorang yang berhasil memikatku dalam sekian pertemuan. Ia adalah seorang lelaki yang pekerja keras dan mandiri dengan bekerja di kantin kampus. Ia adalah Wisnu, seorang mahasiswa di sebuah universitas di Solo. Wisnu sekampus denganku tapi beda fakultas. Perkenalan kami bermula dari nomor handphone yang diberikan Wisnu kepadaku. Aku sering mampir di warung sotonya dan sering bertemu jika aku berangkat atau pulang kuliah. Hampir setiap hari aku dan Wisnu saling kirim sms dan tak jarang Wisnu menelponku hingga berjam-jam.

Begitu seterusnya hubungan kami, hingga suatu hari aku beranikan bertanya mengenai kejelasan hubungan aku dengan wisnu selama ini. Sebenarnya aku malu, tapi kepastian itu penting untuk seorang wanita. Mulai saat itu mungkin Wisnu bingung untuk menjawabnya. Wisnu belum juga memberi kepastian untukku saat itu. Penantianku tak sia-sia. Seminggu kemudian Wisnu memberi jawaban kepadaku. Kami sepakat untuk menjadi sepasang kekasih.

Rintangan menghadang. Aku akan dijodohkan dengan seorang dosen universitas terkenal di Indonesia yang tentunya lebih mapan dalam segalanya dibanding Wisnu. Aku menjalin hubungan dengan Wisnu tanpa sepengetahuan keluarga. Aku menolak perjodohan itu dengan alasan ingin fokus ke kuliah terlebih dahulu.

Setelah lulus kuliah aku diterima bekerja di perusahaan swasta. Aku sering mengunjungi kost-kostan Wisnu dan tak jarang Wisnu menjemput di kostku untuk mengantarku ke tempat kerja. Kami tinggal di kost karena kami berdua berasal dari luar kota.

Kebersamaan kami juga ada masalah lagi, dengan munculnya Respati, mantan pacar Wisnu. Tentu saja rasa cemburu ketika aku tahu wanita itu pernah menjalin cinta dengan kekasihku itu.

” Respati hanya masa laluku. Tak usah kamu mengusiknya ”

”Ia memang masa lalumu. Tapi tentu ada kenangan indah bersamanya yang suatu saat kamu rindukandan ingin kamu rasakan kembali”.

”Cemburu?”

”Hmm,Lumayan. Mendengar namanya saja sudah membuat aku cemburu apalagi ketika datang dan bercakap-cakap denganmu.”

”Aku sudah milikmu. Tak mungkin aku kembali kepadanya”.

”Ucapanmu apa bisa menjamin?”

”Perlu bukti?”

” Iya. Nikahi aku sekarang. Kalau kamu benar-benar cinta kepadaku nikahi aku sekarang” ”Aku akan menikahimu tapi tak sekarang, Tera, Aku akan cari kerjaan yang layak dulu, mengumpulkan uang setelah itu kita akan menikah.” Aku menghargai jawabannya. Mungkin ia belum siap lahir dan batin. Aku sabar menunggu karena ucapan Wisnu yang membuatku yakin. Setiap hari kujalani hidup seperti ini, menunggu kepastian yang tidak pasti dengan pengorbanan apapun. Pengorbanan materi sudah tanpa hitungan, banyak materi yang aku keluarkan, aku ingin membantunya dengan penghasilanku. Wisnu terlambat menjadi sarjana. Itu karena waktunya tersita dengan belajar dan memikirkan beaya menutup uang pendidikannya. Karena sulit mengatur waktu antara bekerja, kuliah dan persiapan menikah. Dari itulah aku termotivasi untuk membantunya menyelesaikan kuliahnya, baik dari segi keuangan maupun membantu mencari bahan skripsi. Sempat terlintas dipikiranku, sampai kapan aku harus menunggu? Aku berusaha menahan untuk tidak bertanya hal itu. Sampai saatnya aku tak tahan akhirnya aku beranikan bertanya kepadanya kapan kami menikah. Wisnu memang sudah merencanakan untuk menikahi aku. Musyawarah dengan keluarga sudah kami lakoni, dan keputusannya adalah kita menikah pada bulan Mei mendatang Aku merasa iba dengan Wisnu karena dia sebenarnya ingin membahagiakan aku di depan keluargaku tapi ia tak punya dana lebih untuk hal itu. Kuputuskan untuk membantunya dengan cara aku memberinya uang dari hasil kerjaku lalu Wisnu memberikannya kepadaku dan aku mengakui barang tersebut pemberian Wisnu. Begitu seterusnya. Kulakukan ini karena aku ingin mengangkat derajat Wisnu di depan keluargaku.

Tanggal pernikahanku dengan Wisnu sudah sangat dekat. Hanya tinggal menghitung hari kami sampai di hari yang paling indah untuk kami berdua. Namun akhir-akhir ini sikap Wisnu berubah. Aku tak tahu mengapa. Ia tak pernah mengantar jemputku untuk kerja. Sebenarnya ada apa ini? Mengapa tiba-tiba ia berubah. Aku merasa asing dengannya. Karena keingintahuanku, kupaksakan bertanya kepadanya.

”Mas, sebenarnya ada masalah apa? Jika ada masalah berceritalah kepadaku. Kamu tahu kan mas, hari yang indah itu hanya kurang beberapa hari lagi. Mengapa kamu menjadi beda mas? Apa yang membuatmu begini?” tanyaku dengan sedikit mendesaknya.

“Kamu lihat apa yang aku lakukan ini? Aku sangat sibuk, jadi aku tak sempat memikirkan itu. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatanku untuk menjadi seorang sarjana.”

Aku berpikir, mungkin ia pusing dengan skripisinya atau terlalu capek dengan pekerjaannya. Aku memilih pulang dengan keadaan yang semakin membuat hatiku tak nyaman saja.



Aku takut jika pernikahan ini batal. Aku sering ditanya oleh orang tuaku tentang tentang kedekatan kami, dan semua tentang acara pernikahan kita. Aku merasa berdosa dengan ibuku, karena aku memberi alasan yang tak sebenarnya. Aku menjawab, bahwa semua ini baik-baik saja dan acara pernikahan kami akan lancar-lancar saja.



Saat itu undangan telah dibagikan, baju sudah jadi, semua yang berhubungan dengan persiapan pernikahan sudah siap semua. Tinggal menunggu hari saja.

”Kita jadi nikah kan?” Kataku lewat telphon di suatu sore, kembali menanyakan sesuatu hal yang terasa hambar.

”Tera, aku tidak bisa melangsungkan pernikahan itu. Maafkan aku Tera. Aku sudah tak bisa mencintai kamu lagi. Aku tak mungkin menikah dengan perempuan yang tak lagi aku cintai. Respati, ya hanya dia perempuan yang benar-benar aku cintai”

”Apa, nggak salah dengar?, Katanya kau tak akan pernah kembali kepadanya karena telah memiliki aku?”

”Saat kamu bilang, ada kenangan indah bersama Respati yang suatu saat aku rindukan dan suatu saat ingin mengulang kisah dengannya kembali, aku tersadar bahwa memang aku merindukannya dan ingin merasakan kembali. Aku mencintaimu tapi tentu kau tak mau cintaku kepadamu hanya sebuah pelarian. Karena Respati-lah yang menjadi penguasa cintaku”

Air mataku membasahi pipiku. Kuakhiri pembicaraan dengannya. Dan perpisahan tak terelakkan. Kisah yang semula indah berubah menjadi kelam.

*****



Ashfiya Nur Atqiya, Lahir di Solo, 08 Desember 1994. Sejak di SMP Al Muayyad, tulisan jurnalistiknya dimuat Media Indonesia dan itu berlanjut ketika kini ia bersekolah di MA Al Muayyad Surakarta. Beberapa reportase jurnalistiknya yang lain dimuat Kompas Muda, Kompas Jawa Tengah dan Jawa Pos Radar Solo. Cerpen dan puisinya masih terserak di notes Facebook. Meski aktif menulis dengan teman-temannya di komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad ia tak melupakan cita-citanya menghafalkan Al Qur,an 30 juz. Tinggal di Pesantren Al Muayyad, Jl. KH. Samanhudi, 64, Mangkuyudan, Surakarta.

2 komentar: